Selasa, 03 Juni 2008

PRASANGKA BERBASIS GENDER

Mayoritas dari penghuni dunia adalah perempuan. Tetapi, pada kenyataannya dalam banyak kultur, perempuan seringkali diperlakukan seakan mereka adalah kelompok minoritas. Mereka dikeluarkan dari kekuatan politik dan ekonomi, mereka juga menjadi subyek atas stereotype negative dan mereka hadus menghadapi diskriminasi terbuka dalam banyak aspek kehidupan (contoh: seting pekerjaan, organisasi soaial, dan pendidikan tinggi). Ketika memasuki tahun 1990-an situasi ini nampaknya berubah, paling tidak dalam derajatnya. Diskriminasi secara terbuka telah dikurangi dengan adanya legislasi di banyak Negara, dan telah ada semacam pencerahan dari negative stereotype terhadap perempuan. Namun demikian, tetap saja prasangka yang berbasis pada jenis kelamin dalam beberapa konteks tertentu dalam kehidupan. (Glick, Zion &Nelson, 1988; Steinberg&Shapiro, 1982). Contohnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Kanekar, Kolsawalla dan Nazareth (1988) yang telah menemukan bahwa pekerjaan yang memiliki prestise tinggi cenderung di nisbatkan pada laki-laki dan jenis pekerjaan yang memiliki prestise rendah di nisbatkan kepada perempuan.

GENDER STEREOTIPE: Teras kognisi dari prasangka terhadap perempuan

Stereotipe adalah konsepsi mengenai sifat suatu kelompok berdasarkan prasangka subyektif dan tidak tepat (KBBI,h.859). Stereotipe pada perempuan lebih berisi hal-hal yang negative dibandingkan stereotype yang dilabelkan pada laki-laki. Sebagai contoh, pada banyak kultur laki-laki diasumsikan memiliki sifat-sifat: bisa mengambil keputusan, agresif,ambisi dan pola berpikir yang logis, dan secara konstras perempuan diberi label: pasif, submisif, emosi tinggi dan sulit mengambil keputusan. Beberapa karakter positif termasuk pula seperti: tekun merawat, sensitive, hangat. Tetapi lebih banyak perangai perempuan lebih sedikit bisa diterima dan hanya sedikit cocok bagi peran-peran yang bernilai seperti: kepemimpinan dan kekuasaan daripada stereotype bagi laki-laki.

Mengapa stereotype ini kemudian merugikan terutama bagi perempuan? Karena stereotype berefek pada penilaian dan evaluasi pada orang-orang tertentu, dan kemudian hal ini akan mempengaruhi persepsi dan perilaku terhadap perempuan, dari banyak orang di seluruh dunia. Dalam kasus stereotype pada perempuan ini berimplikasi secara negative. Umumnya perangai tertentu diasumsikan dibutuhkan untuk mencapai sukses dalam tingkat pekerjaan tinggi seperti manajer, misalnya. Bukankah kita sering mendengar seorang manajer sering diasumsikan sebagai seorang yang botak, asertif, tegas dan cepat mengambil keputusan?

Riset tentang akibat negative dalam gender stereotype terhadap perempuan dalam seting kerja dilaporkan oleh Heilman dkk. Eksperimen ini berulangkali menemukan bahwa perempuan dianggap kurang cocok untuk pekerjaan tradisional yang biasa dilakukan laki-laki dan semua karakteristik perempuan justru menekankan intensitas efek negative dari stereotype terhadap perempuan, contohnya: perempuan yang secara fisik menarik,dianggap memiliki sifat yang lebih feminine sehingga mereka kurang cocok untuk peran manajerial daripada perempuan yang secara fisik kurang menarik. Untuk memberi semangat, implikasi dari gender stereotype dapat dikurangi jika didapat bukti yang jelas akan kemampuan perempuan dan kompetensinya. (Heilman, Martell& Simon, 1988).

Beberapa faktor yang kemudian mendukung berkembangnya stereotype negative terhadap perempuan adalah:

Peran dari Pengharapan

Umumnya perempuan terlihat memiliki harapan atau ekspektasi lebih rendah terhadap kemajuan karirnya daripada laki-laki. Perempuan juga mengharapkan lebih rendah terhadap gaji pada awal dan puncak karir mereka daripada laki-laki. (Major & Konar, 1984). Dan mereka juga beranggapan bahwa gaji yang rendah bagi perempuan adalah sesuatu yang adil. (Jackson & Grabski, 1988). Mengapa perempuan menyakini harapan yang rendah seperti ini? Mungkin karena mereka tahu, dari pengalaman, bahwa rata-rata perempuan lebih rendah pendapatannya daripada laki-laki. Kemungkinan lain adalah perempuan memandang bahwa hubungan antara bekerja dan mendapatkan uang lebih lemah daripada laki-laki, mereka lebih menilai bekerja dari aspek yang lain, misalnya: persahabatan, hubungan dengan sesama pekerja.

Peran dari Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri, sebagaimana kebanyakan orang mengetahui, hal itu adalah prasyarat kesuksesan. Sayangnya, perempuan lebih banyak mengekspresikan kepercayaan diri yang rendah jika dibandingkan dengan laki-laki dalam berbagai situasi yang menuntut peningkatan diri (achievement) (Mc.Carty, 1986). Dalam riset Mc Marty meminta murid laki-laki dan perempuan untuk mengerjakan tugas yang berkaitan dengan kreatifitas (seperti menemukan kegunaan unik yang lain dari pensil atau hanger kawat) dan masing-masing mendapat feedback atas ide mereka. Beberapa dari mereka telah belajar bahwa mereka telah mengerjakan tugas itu dengan baik, sedang yang lain, sedangkan yang lain merasa tidak terlalu bagus. Grup ketiga tidak menerima feedback. Hasilnya, mengindikasikan bahwa sukarelawan perempuan dalam riset tersebut dilaporkan memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah daripada laki-laki sebelum mereka mengerjakan tugas. Lebih penting lagi, ketika feedback yang positif ditingkatkan agar perempuan lebih percaya diri, itu tetap lebih rendah daripada laki-laki. Akhirnya laki-laki yang tidak menerima feedback samasekali dilaporkan memiliki kepercayaan diri yang sama tingginya dengan perempuan yang menerima feedback yang positif.

Penelitian ini akhirnya menyarankan bahwa feedback yang positif terhadap kinerja merupakan sesuatu yang sangat istimewa bagi perempuan. Meskipun bagi laki-laki tidak adanya feedback semacam ini tidak mengurangi kepercayaan diri mereka. Ketika positif feedback tidak ada dalam banyak situasi, mungkin saja ini merupakan kekuatan subtil yang beroperasi untuk merendahkan perempuan.

Atribusi terhadap Keberhasilan Laki-laki dan Perempuan

Faktor ketiga yang bekerja dalam hal menentang kaum perempuan adalah perbedaan atribusi berkaitan dengan kesuksesan kinerja laki-laki dan perempuan. Beberapa studi menemukan bahwa beberapa orang, mensifati (atribusi) kesuksesan yang dilakukan oleh laki-laki disebabkan karena faktor internal (laki-laki tersebut), seperti usaha atau kemampuan tetapi ketika mensifati (attributing) kinerja yang sama yang ditunjukkan perempuan mereka menganggap itu karena sebab eksternal seperti keberuntungan atau karena tugas yang mudah. (Deaux, 1982; Nieva & Gutek, 1981). Bagi perempuan hasil studi ini bisa mematikan: jika laki-laki sukses dianggap hal itu karena usaha keras mereka dan kemampuan mereka tetapi ketika kesuksesan yang setara dicapai oleh perempuan mereka hanya dianggap mencapainya karena keberuntungan.

Reaksi Negatif kepada Pemimpin Perempuan: Ketika Bahasa Non Verbal bisa menyakitkan.

Sejak kekerasan yang disebabkan oleh harapan sering menimbulkan efek negative, Butler dan Geis (1990) memprediksikan bahwa ketika seseorang dikonfrontasikan dengan seorang pemimpin perempuan, banyak orang akan menampakkan bahasa nonverbal –mimik wajah yang menunjukkan ketidaknyamanan atau penolakan-. Ini tentunya merupakan tamparan yang sangat menyakitkan. Hal ini tentu secara terbuka akan terlihat oleh anggota kelompok yang lain yang bisa menginterpretasikan bahwa hal itu merupakan tanda bahwa pemimpin perempuan itu tidak kompeten atau tidak berhasil dalam perannya sebagai pemimpin. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Butler dan Geis adalah: bahwa pemimpin perempuan menerima tanggapan non verbal negative, lebih banyak daripada pemimpin laki-laki. Lebih jauh lagi, pemimpin laki-laki menerima tanggapan non verbal positif yang lebih banyak setiap menitnya daripada perempuan.

Tidak ada komentar: