Selasa, 03 Juni 2008

DAHULU, GEMUK ITU INDAH

Di dalam banyak kultur dahulu, gemuk adalah indah. Pada sebagian masyarakat sampai hari ini seperti di pedalaman Irian Jaya atau di dusun Nigeria, perempuan justru menumpuk berat badan agar tampak lebih menarik. Mereka senang melihat lemak yang berlebihan di bokong, suatu kondisi yang dinamakan steatopygia.

Beberapa suku terasing dan pedalaman memberikan makanan terbaik untuk anak perempuan yang mendekati usia perkawinan. Perut yang paling besar menjadikan mereka pengantin yang paling disukai. Itu terjadi di zaman primitif, sebelum manusia mengenal pertanian dan supermarket. Makanan diburu dan digali, bukan ditumbuhkan dan dipelihara.

Pada masa itu, paceklik adalah masa buruk dan gemuk adalah suatu kebaikan. Lemak tubuh mempertahankan nenek moyang kita bertahan hidup –ibaratnya mereka membawa gudang makanannya sendiri- karena lemak adalah cadangan energi murni.

Tetapi sekarang, sebagian besar orang terutama perempuan menyesali bonus ekstra itu, sebagaimana ditulis oleh editor Magazine Health Books "Prevention", dalam buku The Female Body, terutama jika dihadapkan dengan media yang memuat super model dunia Cindy Crawford, Kate Moss atau Claudia Schiffer. Melihat tubuh gantungan pakaian yang dipromosikan sebagai "ideal" sering sekali membuat perempuan merasa menderita dengan definsi kecantikan yang sempit.

Sedikit banyak "ledekan" yang ditampilkan media televisi atau ukuran-ukuran cantik, seperti tinggi, langsing, putih, feminin, seksi yang diciptakan industri kecantikan -yang kemudian mempengaruhi persepsi masyarakat- kerap membuat orang gemuk merasa tersisih dan tidak punya tempat dalam pergaulan sosial. Kehidupan romantis mereka pun dalam beberapa kasus cukup menyedihkan. Seperti diceriterakan seorang perempuan dalam konsultasi psikologi harian Kompas berikut ini:

"Saya bertubuh gemuk dengan berat badan 64 kg dan tinggi badan 154 cm. Sebagai gadis berbadan subur saya sulit menemukan pasangan hidup. Apakah gadis gemuk seperti saya tidak berhak dan tidak pantas untuk bercinta, dicintai atau mencintai lawan jenisnya? Sebenarnya sejak SMA saya sudah punya "gandengan". Ini diteruskan selama kami kuliah, saya banyak berkorban untuk dia. Saya mengetik makalah dan tugas-tugasnya dan sering menemani dia bekerja di laboratorium, tapi apa lacur, sesudah diwisuda, dia melenggang pergi sambil memeluk sekretaris yang ramping."

Entah mana yang berperan terlebih dahulu dalam menciptakan kondisi-kondisi buruk seperti kisah perempuan gemuk di atas. Apakah, media televisi yang menampilkan citra orang gemuk sebagai orang yang tidak diinginkan, hanya layak dimanfaatkan dan dijadikan obyek lucu-lucuan, yang kemudian berakibat besar dalam hal nasib dan penerimaan sosial terhadap orang gemuk.

Ataukah kesalahan industri kecantikan ynag menguasai dan memprovokasi kesadaran publik lewat media massa sehingga membentuk wacana publik bahwa yang indah dan cantik adalah perempuan yang tubuhnya ramping, kulitnya putih dan feminin.

Atau justru konsep invidu rata-rata orang gemuk sendiri terhadap diri dan tubuhnya -misalnya, mereka merasa tidak mungkin menarik dengan tubuh gemuknya- yang justru membuat mereka minder, putus asa, dan mengisolasi diri dari pergaulan sosial. Dan kenyataan inilah yang kemudian "dipotret" dan diangkat oleh media massa.

Tidak ada komentar: