Kecemasan adalah reaksi alami di dalam kondisi perawatan hidup, karena tubuh akan diperingatkan dan seluruh sumber daya manajemen dalam tubuh akan dimobilisasi. Butz dan Alexander (1993) menyatakan bahwa dua sampai tiga penderita asma mengalami kecemasan saat terjadi serangan asma akut. Meninjau dari model Lazarus dan Folksman (1984), intensitas kecemasan tergantung pada : intensitas seriusnya serangan asma dan cara-cara yang tersedia dalam mengurangi hambatan alur udara. Estimasi ini untuk melawan pengaruh-pengaruh oleh proses pengalaman dan evolusi sebelum datangnya serangan, juga untuk melawan kesalahan konsep teori dan pengetahuan yang salah tentang asma. Selanjutnya, penulis juga menemukan bahwa semakin tinggi kemampuan diri juga dihubungkan dengan sedikitnya kecemasan pada penderita asma dan membimbing penderita pada penanganan asma yang lebih baik.
Ketika asma menyerang tidak bisa dilihat ataupun diduga, tidak terkontrol, dan amat sangat menakutkan. Satu cara untuk mengontrol adalah dengan mengetahui faktor-faktor apa yang menjadi pemicu asma dan mencegahnya pada masa yang akan datang. Dengan mengetahui pemicu asma, bisa dicari sebuah penanganan asma yang sesuai. Kenyataan bahwa kecemasan juga penting dalam beberapa kejadian dalam rangka untuk memotivasi pasien menghindari pemicu asmanya.
Kecemasan juga mempengaruhi gejala-gejala berpikir dan menghambat intensitas alur udara, sehingga penderita asma tidak bisa menyesuaikan diri dengan intensitas gejala-gejala asma.
Disamping hambatan pada fisiknya, penderitaan karena asma juga membentuk pola pikir yang stereotip pada mereka. Mereka menganggap tidak beruntung, kehidupannya terhambat, terganggu dan akan hancur untuk selamanya, merasa ketidaknormalannya (karena asma) menghalanginya sehingga tidak dapat menerima dirinya, merasa tersisih dari lingkungannya. Pandangan semacam ini dapat berpengaruh pada konsep diri, kemauan dan motivasi, sehingga mengakibatkan timbulnya perasaan tidak mampu, putus asa, tidak berharga, dan tidak percaya diri sehingga menghambat penderita asma tersebut dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Pada penderita asma dengan kecemasan yang berhubungan dengan ketakutan-ketakutan tidak dapat menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan datang. Pada beberapa penderita bahkan menyalahkan diri mereka karena penyakitnya, mereka menyamakan keadaan itu dengan ketidakberuntungan. Orang yang demikian akan mengalami suatu penyalahan pada diri sendiri, dari perasaan bersalah sampai dengan depresi. Ada juga yang bereaksi dengan menyalahkan orang lain mengenai ketidakberuntungannya ini. Hal tersebut bila dikaitkan dengan pengetahuan bahwa faktor genetik juga berperan dalam menurunkan asma dilihat dari riwayat keluarga penderita asma. Reaksi marah dan bermusuhan terhadap faktor pemicu asma dari lingkungan juga mungkin diikuti oleh menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan rasa sakit.
Dengan demikian setidaknya ada tiga faktor yang menyumbang munculnya kecemasan pada penderita asma, faktor dari luar berupa perubahan-perubahan sosial dan kultural serta lingkungan, faktor dari dalam berhubungan dengan kondisi fisiknya serta pola berfikirnya yang negatif. Ketiga faktor ini sangat kuat dalam menciptakan kecemasan pada mereka. Mereka akan melihat dunia secara pesimis dan sinis. Akibat lain adalah munculnya pandangan negatif tentang masa depan: mengganggap tidak akan ada perubahan, menganggap masa depan sebagai sia-sia dan meyakini bahwa serangan asma akan terus terjadi, individu yang cemas percaya bahwa ia tidak berdaya dan tidak memiliki kekuatan untuk memperbaiki keadaan atau masa depannya (Oemarjoedi, 2004).
Proses munculnya kecemasan pada penderita asma dapat diilustrasikan dalam gambar sebagai berikut :
4 3
![]()
![]()
![]()
painful emotion/ kecemasan
Psikologis
![]()
![]()
![]()
ASMA
1 2
![]()
Environmental Stimulus Negative Thoughts Psychological Arousal
Sosial Kognitif Fisiologis
![]()
![]()
![]()
Perilaku Kecemasan
Harapan bahwa walaupun serangan asma dapat terus terjadi, mereka tetap memiliki pola berfikir yang positif dan optimis dalam menghadapi penyakit tersebut dan lebih siap dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan datang. Mereka tetap dapat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan keadaannya, serta tetap survive dalam kehidupan dengan penyakit asma ynag dideritanya.
Untuk membantu mereka tetap optimis dan berfikir positif baik terhadap dirinya dan asma yang dideritanya, lingkungannya serta masa depannya, kiranya perlu diberikan tritmen untuk merubah pola pikir mereka yang pencemas tersebut. Individu menjadi cemas dikarenakan mereka belajar dari suatu proses, peristiwa maupun kejadian-kejadian yang menyumbang memunculkan proses pikiran yang negatif tersebut, lebih banyak menerima hukuman (punishment) dari pada penghargaan (reward), tidak adanya reinforcement yang diterima dari orang-orang yang peduli dan perhatian pada mereka, kurangnya pengetahuan tentang asma dan kecemasan yang dideritanya. Individu berperilaku sesuai dengan kognisi yang dibentuk dan diyakininya. Dengan demikian aspek kognisi ini akan diubah agar perilaku yang dimanisfestasikannya juga berubah sesuai dengan keinginan dan keyakinannya yang baru. Kondisi tersebut dapat diatasi dengan memanfaatkan terapi kognitif perilakuan, karena terapi ini pada prinsipnya mengajarkan pada subjek teknik-teknik untuk merubah kognisi negatifnya tersebut melalui proses pembelajaran serta memberikan kesempatan kepada subjek untuk ‘mengalami kembali’ peristiwa ataupun kejadian yang menyumbang munculnya kecemasan pada mereka. Pada proses ini kognisi akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berfikir, merasa, dan bertindak.
Menurut Kendall & Braswell (dalam Ronen, 1997) beberapa prinsip dasar sebagai pengarah dalam terapi kognitif perilakuan adalah bahwa (1) kognisi merupakan proses yang memperantarai dalam proses belajar manusia, (2) pikiran, perasaan dan tingkah laku saling berhubungan secara kausal, (3) aktivitas kognitif seperti harapan, pernyataan diri, dan atribusi merupakan hal yang penting dalam memahami dan memprediksi psikopatologi dan perubahan terapi, (4) kognisi dan perilaku adalah harmonis artinya proses kognitif dapat diinterpretasikan ke dalam paradigma perilaku dan teknik kognitif dapat dikombinasikan dengan prosedur perilakuan, (5) tugas terapis kognitif perilakuan adalah berkolaborasi dengan klien untuk menilai perilaku dan proses kognisi yang terganggu dan defisien, kemudian merencanakan pengalaman belajar yang baru untuk memperbaiki kognisi yang disfungsi dan defisien, perilaku dan pola afeksinya. Dengan dasar prinsip ini, individu yang mengalami kecemasan dan diberikan terapi kognitif perilakuan diharapkan terjadi perubahan pada proses berfikirnya, dari kognisinya yang negatif menjadi positif, dari pola pemikiran yang sempit menjadi lebih luas, bahwa ada sesuatu yang positif dengan dirinya, lingkungan, dan masa depannya yang dapat dilalui tanpa harus menyalahkan diri, lingkungan, dan dunia.
![Validate my Atom 1.0 feed [Valid Atom 1.0]](valid-atom.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar