Jika dikatakan bahwa pola yang umum di dunia adalah bahwa laki-laki memiliki status dan kekuasaan yang lebih daripada perempuan, tetapi ternyata perbedaan ini tidak sama jika dikaitkan dengan lintas cultural (Rosaldo, Lamphere, 1974). Sebagaimana disampaikan diatas kata “seks” dan “gender” kerap kali dipertukarkan dengan cara yang salah. Demikian pula perbedaan berdasarkan biologis antara laki-laki dan perempuan umumnya dilebih-lebihkan dan orang cenderung melihat lebih banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan dan kemudian bisa di identifikasikan oleh test psikologi yang kaku. (Lott, 1990) contohnya, studi yang dilakukan oleh Lumis dan Stvenson (1990) yang meneliti ribuan murid sekolah dasar di Taiwan, Jepang, dan Amerika, menemukan sedikit sekali berbedaan gender. Murid perempuan hanya sedikit lebih baik dalam hal membaca dibandingkan dengan laki-laki, dan murid laki-laki hanya sedikit lebih baik dalam hal matematika dibandingkan dengan murid perempuan, hal ini terjadi pada ketiga negara tersebut. Tetapi ibu di ketiga negara tersebut percaya bahwa perbedaan itu cukup besar. Terlebih lagi, perbedaan gender seringkali muncul secara “natural” dan “didasarkan pada perbedaan biologis” lebih banyak, daripada dijustifikasi oleh fakta.
Pendeknya, perbedaan yang konsisten cenderung lebih kecil, tidak stabil, situasinya spesifik dan orang-orang memproyeksikan kultur mereka sesuai kebutuhan untuk melebih-lebihkannya (contohnya ide tentang kerap kali terjadi eksploitasi gender). Alhasil, perbedaan gender sangat bergantung pada sikap yang mengemuka, kepercayaan, dan nilai. Juga tergantung pada aspek kealaman dari aktifitas yang mana laki-laki dan perempuan saling terlibat untuk survive dalam lingkungan ekologis tertentu. Bermula dari kenyataan bahwa perempuan memiliki tugas untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak sehingga mereka tidak diberi tugas untuk melakukan aktifitas yang berbahaya seperti memancing, melaut, atau berburu. Pola dari pembedaan status dari aktifitas kemudian mengemuka dan menciptakan perbedaan status gender. Tentu saja dalam masyarakat informasi seperti Amerika Serikat, aktifitas yang berbahaya sebagai upaya untuk survive tidak begitu diperlukan. Sebagai kesimpulan ditemukan bahwa semakin modern suatu masyarakat, semakin sedikit pula stereotip yang berkembang antara laki-laki dan perempuan (William & Best,1982, 1990)
Beberapa contoh perbedaan gender diberbagai belahan dunia. Di masyarakat Nepal berkembang pola poliandri untuk mencegah tanah pertanian yang dibagi-bagi. Pola normalnya adalah seornag istri hidup di tanah suaminya, tetapi sejak seorang perempuan hanya bisa melahirkan sedikit anak, kemudian pola poliandri menjadi menarik perhatian dilakukan untuk mengontrol populasi. Para laki-laki yang memilih untuk monogamy, tetapi tidak membagi tanahnya, menemukan bahwa konflik diantara istri cukup signifikan sehingga kemudian perkawainan poliandri menjadi suatu hal yang menarik. Dalam pola masyarakat seperti ini bagaimana status seorang perempuan? Dalam keluarga poliandri, biasanya suami pertama adalah boss bagi keluarga, suami yang lain disebut sebagai ayah juga atau saudara ayah. Tidak seperti perempuan yang monogamy, seorang perempuan poliandri memiliki kekuasaan untuk mempermainkan satu suami dengan suami yang lainnya dan hal ini bisa mengkontrol berbagai situasi sesuai dengan kemanfaatan bagi dirinya. Apakah ini merupakan sesuatu yang meningkatkan status perempuan? Ini bukan pertanyaan yang sederhana. Sebab pada hakikatnya, kepala keluarga tetaplah suami pertama. Lalu bisa dikaitkan dengan “siapa pengambil keputusan utama?” Ini juga bisa menjadi diskusi yang menarik, karena “apa itu keputusan yang utama? Menyangkut apa?” apakah berkaitan dengan “apakah kita perlu pergi berperang?” jika ini pertanyaannya maka laki-laki akan banyak menjadi pengambil keputusn utama. Tetapi jika pertanyaannya “Apakah kita perlu untuk memiliki anak lagi?” hal ini kemudian menjadi tidak jelas lagi, siapa yang menjadi pengambil keputusan yang utama.
Suatu hal yang menarik dari kualitas emic dari gender muncul pada perempuan Jepang yang lahir sekitar tahun 1946 dan1955, menurut Iwao, perempuan yang lahir sebelum perang dunia kedua secara jelas hidup dengan nilai-nilai tradisional, inferior dibandingkan dengan laki-laki, tetapi perempuan yang lahir pada tahuan 1946-1955 memiliki status dan peran gender yang sangat berbeda. Generasi ini para perempuannya ‘menguasai’ dompet suami (suami bekerja mencari nafkah dan kemudian memberikannya seluruhnya pada istri, dan istri memberikan sediki bagian pada suami). Jika ia adalah istri yang bekerja maka ia bebas untuk menabung uang yang didapatnya dari pekerjaannya dan bebas menggunakan sesuai dengan keinginannya. Mereka bebas memilih apakah bekerja, sekolah, memasuki organisasi, ikut berpartisipasi dalam partai politik, atau di rumah menuli novel atau puisi. Jika ia memilih bekerja maka ia bebas memilih pekerjaan apa yang ingin dilakukannya. Secara kontras, para laki-laki di Jepang adalah ‘budah’ perusahaan mereka. Mereka harus menghabiskan hampir seluruh waktunya dikantor, tidak bisa mengatur waktunya sendiri, bahkan tidak bisa mengatur waktunya untuk berkumpul dengan keluarga. Maka kemudian muncul ungkapan “ Laki-laki di jepang superior sedangkan perempuannya dominant”
Inilah sulitnya melakukan studi tentang gender. Karena ternyata perbedaan gender sangat berkaitan dengan kultur, waktu dan tempat.
![Validate my Atom 1.0 feed [Valid Atom 1.0]](valid-atom.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar